adhyaksanews.online, Bangka Belitung
Sejak tahun 1804 Kesultanan Mahmud Badarudin 11 ditangkap Belanda dan dibuang ke Manado lalu Kesultanan digantikan oleh Sultan Najamudin 11 (Husin Dhiauddin) 1813 yang diangkat oleh Belanda. Liciknya lagi, Belanda membuka Residen di Palembang semenjak itulah Kepulaun Bangka-Belitung menjadi target penyerangan Penjajah Belanda. Kendati demikian, perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin lansung Sultannya sendiri sekaligus sebagai Panglima Perang tidak lain adalah FATIH KRIO PANTING (Panglima Pantun) dan didampingi Hulu Balang Nilam sebagai Komandan Pasukan Kesultanan. Mereka berdua merupakan Saudara Seperguruan yang mempunyai keahlian ilmu bela diri ketangkasan silat, yang sering dikenal sebagai Silat Sambut dan ilmu kebatinan yakni BATIN TIKAL ( ilmu tubuh terpotong bisa nyambung).
Salah satu Benteng pertahanan Pejuang Sejati ini ada di Tanjung Tedung dan Pulau Nangka, karena secara strategis perang, Belanda tidak bisa langsung masuk ke Sungai Bangka Kota (Kute) dikarenakan dangkal, sementara Belanda menggunakan kapal besar. Namun, akal bulus Belanda mencari jalur masuk melalui Sungai Selan yang lebih dalam dan lebar. Hal itulah yang dilakukan Pasukan BATIN TIKAL membuat pertahanan di Tanjung Tedung dan Pulau Nangka dikarenakan dekat dengan Kuala Sungai Selan. Hingga akhirnya, Belanda menggunakan politik DE VEDE ET EMPERA (pecah belah), pada tahun 1823 Belanda berhasil menghasut HULU BALANG NILAM untuk bersebahat berkerja sama dengan belanda melawan FATIH KRIO PANTING (BATIN TIKAL) yang tidak lain adalah kakak Sepergurannya sendiri dengan dijanjikan Belanda bakal diangkat menjadi Sultan di Bangka. Sialnya, HULU BALANG NILAM menyetujui perjanjian tersebut. Lalu, tanpa kendala kapal Belanda pun dengan mulus bersandar di Sungai Selan dan menyerang Ke Bangka Kota melalui jalur darat secara diam-diam. Dengan Pasukan besar, Belanda bergabung dengan pasukan HULU BALANG NILAM yang telah menjadi Penghianat.
Pada tahun 1851 Hulu Balang Nilam berhasil membunuh FATIH KRIO PANTING (Batin Tikal) dengan cara memenggal kepalanya, lalu kepala Fatih krio Panting dibawa ke Resident Belanda di Palembang. Kononnya, dihadapan Keresidenan Belanda Kepala FATIH KRIO PANTING masih bisa berbicara dengan pantun agar kepalanya dikembalikan ke Pulau Bangka. Yang berbunyi ” Krio Panting Secupat Jada, Pisah Badan La Biasa, Krio Panting Pulang ke Bangka, Kalo dak Gempur Negri Belanda. Mendengar ancaman itu, sampailah ke telinga Keluarga Kerajaan Negeri Belanda sehingga atas perintah langsung dari Ratu Belanda agar Mayor Bakcing mengembalikan kepala FATIH KRIO PANTING ke Pulau Bangka. Namun, sesampai di Bangka tepatnya di Sungai Selan Mayor Bakcing penasaran ingin memotong rambut Sang Fatih (BATIN TIKAL) tetapi secara mendadak petir menyambar tubuh Mayor Bakcing hingga gosong dan tewas. Melihat peristiwa yang disaksikan dengan mata kepala sendiri oleh Hulu Balang Nilam, ternyata Sang Penghianat Hulu Balang Nilam semakin marah sontak langsung memegang kepala FATIH KRIO PANTING, sayangnya tangan Hulu Balang tak bisa lepas seperti lengket hingga badannya mengering dan tewas. Mayor Bakcing dimakamkan di Sungai Selan sedangkan Hulu Balang Nilam dimakamkan di Desa Gudang Bangka Selatan. Ironisnya, sebelum dimakamkan FATIH KRIO PANTING sempat menyampaikan pesan kepada anak dan cucu keturunannya melalui pantun yang terkenal berbunyi “Krio Panting Putus Berdenting, Cupak Gantang dak Berubah, Harta dan Tahta dak Penting, Saudara, iman dan Harga Diri Nak Dijaga”. Lalu, Pendekar Sejati ini meminta dimakamkan kepalanya di atas makam Hulu Balang Nilam yang tak lain adik seperguruannya sebagai nisan Kuburnya sendiri. Makam tersebut terletak di Desa Gudang, makna inilah sebagai pesan moral yang berarti dalam hidup ini” KAMU TEGA MEMBUNUH SAUDARAMU SENDIRI MAKA SEBAGAI NISANNYA KEPALA SAUDARA MU INILAH”. Sangat mendalam sekali kalimat mutiranya, sehingga menyentuh hati dan jiwa, tak ayal Sang Sultan Muhammad Ali menyandang banyak Gelar, mulai dari nama KRIO PANTING dan BATIN TIKAL.
( HAJ – Adhyaksanews )