Oleh : Hairul Anwar Alja’fary
Wartawan Adhyaksa.news
Pangkalpinang, Jum’at (5/1/2024) Adhyaksa.news-Pada penghujung jaman ini, siapa banyak duit kemungkinan bisa berkuasa dalam dunia politik. Pasalnya, politik tidak hanya mengacu pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan saja akan tetapi politik semakin dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan “kantong tebal”, terutama dalam bentuk politik uang. Akibatnya, politik uang sebagai alat untuk memperoleh kekuatan politik. Jadi, tidak heran kalau para calon wakil rakyat kita ataupun para pemimpin yang terpilih itu secara otomatis telah merusak integritas politik dan membahayakan prinsip-prinsip demokrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga, dunia politik akan “hancur” akibat politik uang yang menggurita ke-daerah-daerah bahkan menjalar ke-seluruh rakyat Indonesia.
Politik uang mengubah politik menjadi arena transaksi, di mana kepentingan pribadi atau kelompok dipertaruhkan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Dalam konteks ini, kepentingan publik sering kali terabaikan dan kebijakan yang dihasilkan cenderung mendukung pihak yang memiliki kekayaan finansial atau uang. Seperti yang pernah dikatakan salah satu teman saya, seorang Politisi sejati Babel bahwa Politik harus memiliki unsur 3 O yakni, Ongkos, Otak dan Otot. Mari kita urai mulai dari O yang pertama adalah Ongkos. Ini suatu barometer yang sangat menentukan seseorang dapat ‘bergerak’ atau tidak ditentukan ongkos, karena untuk bersosialisasi kepada masyarakat pemilih harus menggunakan ongkos. Kenapa tidak, untuk mensosialisasikan diri saja, harus mencetak baleho, spanduk, stiker dan alat-alat pendukung kampanye yang bisa meyakinkan masyarakat untuk memilih mereka. Tidak sampai disitu, ada lagi yang bersilaturahmi sambil mengumpulkan warga sambil memberikan sembako, kain, jilbab dan cinderamata lainnya agar masyarakat pemilih tersentuh hatinya untuk dipilih. Lalu O kedua adalah Otak, ini merupakan strategi atau taktik para calon legislatif maupun eksekutif untuk memainkan perannya bagaimana cara untuk melakukan transaksi sebagai ikatan politik agar suara pemilih mencoblosnya. Apakah dengan cara menggunakan “tangan” orang lain dengan membuat tim sukses (Timses) dan lain-lain. Dengan demikian, elektebilitas Sang Calon bisa jadi meningkat dan populer di tengah masyarakat, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menjadi rujukan hati masyarakat untuk memilih. Dan O ketiga yaitu Otot, ini merupakan berkaitan dengan fisik, karena tidak akan mungkin seseorang akan kuat jika tubuhnya tidak sehat. Oleh karena itu seorang politikus sejati harus sehat dan kuat, karena ketika waktunya harus bergerak dan menjalankan tugas, maka tidak akan ada yang namanya mengenal waktu. Semisalnya, saat ada kejadian yang menyangkut kemanusiaan dan hajat hidup orang banyak, tentu para Calon Legislatif (Caleg) harus “tebar pesona” sambil memberikan kontribusi ataupun bantuan kepada yang memerlukan. Sehingga tak ayal, Caleg tersebut menjadi perhatian publik atas keperduliannya kepada masyarakat, padahal jika Ia terpilih nanti, apakah masih “seperti dulu”, saat masih status Caleg dengan berjanji akan selalu amanah dan menyuarakan masyarakat cilik, namun kenyataannya nihil, “batang hidung” pun tak terlihat lagi.
Oleh karena itu, dampak negatif yang paling mencolok dari politik uang atau money politik adalah distorsi dalam proses demokrasi. Mengapa, karena ketika uang memainkan peran dominan dalam dunia politik, maka suara rakyat pemilih cerdas menjadi terpinggirkan. Sementara calon atau partai politik yang kaya memiliki keunggulan dalam mempengaruhi masyarakat pemilih yang mengambang untuk meraup suara terbanyak, tak heran kampanye yang mahal tersebut banyak mengeluarkan ongkos ratusan juta hingga miliaran rupiah. Sementara calon yang berkualitas tetapi tak memiliki ongkos besar akan terabaikan dan bisa jadi tidak terpilih, karena kurang dukungan finansial dan “kantong tebal”.
Oleh karena itu, jangan heran jika mereka yang bermain di “Politik uang” akan memicu korupsi dan praktik politik yang tidak etis. Karena saat para politisi sebelum menjadi pejabat mereka mencari pendanaan besar-besaran kemana saja, bahkan sering kali terjebak dalam jaringan yang menawarkan konsesi yang tidak bermanfaat bagi kepentingan publik dan merugikan orang banyak.
Selain itu, politik uang juga menciptakan ketidakadilan sosial. Kesenjangan antara politisi yang kaya dan masyarakat biasa semakin memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi. Masyarakat yang kurang mampu sering kali tidak memiliki akses yang sama ke perwakilan politik yang berkualitas, karena calon yang miskin memiliki keterbatasan dalam mengumpulkan dana kampanye. Ketergantungan pada politik uang juga mengganggu kebijakan publik yang seharusnya berorientasi pada kepentingan rakyat. Politisi yang terikat dengan pendanaan khusus cenderung membuat keputusan yang menguntungkan kepentingan kelompok yang membiayai mereka, bukan kepentingan umum.
Dengan demikian, untuk mengatasi politik uang, langkah-langkah yang perlu diambil, yaitu Reformasi politik yang membatasi pengaruh uang dan meningkatkan transparansi pendanaan kampanye. Langkah awal yang penting pendidikan agar ditingkatkan supaya masyarakat memahami dampak negatif akibat politik uang atau yang keren disebut money politic.
Dampak lain akibat politik uang yaitu sebagai ancaman serius bagi demokrasi dan keadilan sosial. Oleh karena itu, tanpa bersama-sama dan seluruh lapisan masyarakat untuk ikut serta dalam hati yang paling dalam berupaya mengatasi masalah ini dan mengembalikan integritas politik sesungguhnya yang berorientasi kepada kepentingan publik.
Sementara hasil kajian KPK terkait politik uang menjelaskan bahwa sebanyak 72% pemilih menerima politik uang. Setelah dibedah sebanyak 82% penerimanya adalah perempuan dengan rentang usia di atas 35 tahun. Faktor terbesar perempuan menerima politik uang tersebut karena faktor ekonomi, tekanan dari pihak lain, permisif terhadap sanksi, dan tidak tahu tentang politik uang.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Hasyim Asyari pernah mengatakan, bahwasanya semua pihak telah memahami pendekatan hukum di Indonesia bisa dilakukan secara normatif, kelembagaan, dan budaya. Kampanye ‘Hajar Serangan Fajar’ merupakan pendekatan kebudayaan yang bagus dilakukan sebagai langkah antisipatif pada kejahatan pemilu. “Hasil kajian dan temuan KPK yang rekomendatif kepada Parpol, saya kira menjadi pedoman (bagaimana) Parpol untuk menggerakan pemilih ke TPS dengan tidak menggunakan uang. Ini harus menjadi gerakan bersama,” tuturnya.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Rahmat Bagja menyambut baik kampanye ‘Hajar Serangan Fajar’. Hal ini memperpanjang tradisi KPK yang selalu hadir memberikan upaya pendidikan pada saat memasuki masa-masa Pemilu. Dimana titik kerawanan politik uang terjadi sejak masa kampanye, pencalonan, masa pemungutan, dan perhitungan suara. “Kami harap program ini terus dikerjakan bersama-sama KPK, KPU, Bawaslu. Kami harap hal ini yang akan menjadi perjuangan bersama menegakan demokrasi di Indonesia,” imbuh Rahmat.
Guna memperluas jangkauan Kampanye ‘Hajar Serangan Fajar’, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong menegaskan akan mendukung sepenuhnya kampanye ini. Menurutnya, Kementerian Kominfo akan turut dalam menegakan demokrasi dan mewujudkan Pemilu yang jujur, adil, dan bersih. “Kominfo akan menggunakan seluruh kanal yang dimiliki. Kita akan kerahkan videotron seluruh K/L/PD. Kita akan kerjasama dengan perusahaan telekomunikasi untuk mengirimkan WA blast kepada masyarakat sehingga kita bisa kampanyekan dengan masif ke seluruh masyarakat, ke seluruh pelosok Indonesia,” tandasnya.
Jangan heran, pada tahun politik akan menjadi ancaman serius menjelang pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui program ‘Hajar Serangan Fajar’ mengimbau masyarakat ikut mengawal Pemilu dengan menentang dan menolak praktik politik uang yang dapat menjelma menjadi korupsi.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan sudah bukan menjadi rahasia lagi jika setiap penyelenggaraan Pemilu baik tingkat nasional maupun tingkat daerah masih dikotori dengan politik uang. Apabila masyarakat dengan senang hati menerima politik uang, maka perilaku tersebut dapat memberatkan para kepala daerah serta wakil rakyat. Sebab, ongkos politik/demokrasi yang tergolong sangat mahal dapat memicu kepala daerah/wakil rakyat melakukan tindak pidana korupsi. “Menjelang pencoblosan banyak orang yang berbagi rezeki. Kami mendorong nanti tahun depan ketika pemilu tolong hindarkan diri dari perbuatan untuk menerima sesuatu dari calon,” ujarnya.
Menurutnya, para wakil rakyat dan kepala daerah yang terpilih bakal berhitung ongkos yang telah dikeluarkan untuk mengikuti kontestasi jabatan politik. Oleh sebab itu, ongkos tersebut pun bakal diupayakan kembali modal. Akibatnya, para kepala daerah atau anggota legislatif yang terpilih terjaring KPK dalam perkara korupsi dari praktik balik modal.
(Adhyaksa.news)