Adhyaksanews. Jakarta — Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 1 (tiga) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Jumat 14 Februari 2025.
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Fidelis March Uju alias Mars dari Kejaksaan Negeri Belu, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kronologinya yaitu Tersangka Fidelis March Uju alias Mars dan Korban Maria Junita Seran merupakan Istri Sah Tersangka berdasarkan Akta Perkawinan (Istri) 5304-KW-08072019-0021, tanggal 10 Juli 2019 dan Perkawinan tersebut telah dikaruniai seorang anak perempuan bernama Clarissa Nathania Mau,
Selama Tersangka dan korban tinggal bersama kurang lebih selama 5 (lima) tahun memang sering terjadi pertengkaran dalam rumah tangga Tersangka dan korban. Seperti pada pertengahan tahun 2022 ketika Tersangka melakukan kredit Bank tanpa sepengetahuan korban sehingga mengakibatkan korban merasa sakit hati dan itu menjadi pemicu sering terjadinya pertengkaran disebabkan tersangka berniat menjual rumah yang telah dibangun tersebut.
Sekitar pertengahan bulan Desember tahun 2023 korban pergi ke rumah yang telah dibangun oleh Tersangka dan korban, pada saat tersebut korban bertemu dengan salah satu tukang kemudian korban mendengar rumah tersebut telah dijual oleh Tersangka, sehingga korban kaget dan kemudian langsung mengirim pesan ke Tersangka menanyakan kebenaran hal itu.
Akan tetapi Tersangka menjawab bahwa korban tidak berhak atas rumah tersebut karena di bangun di atas tanah milik orang tua tersangka sehingga korban merasa sakit hati karena tidak dianggap oleh Tersangka yang berbuat apa-apa tanpa memberitahukan ke Korban sebagai istri sah dari Tersangka.
Pada hari Jumat, tanggal 24 mei 2024 sekira pukul 12.30 WITA, bertempat di rumah orang tua Korban dengan alamat di Tulamalae RT.007/RW.003, Kelurahan Tulamalae, Kecamatan Atambua Barat, Kabupaten Belu. Tersangka mencekik leher Korban serta melakukan pemukulan pada bagian kepala korban sebanyak 2 kali, pada bagian pipi kanan Korban 2 kali dan pada bagian pipi kiri Korban 1 kali serta menarik rambut Korban sebanyak 3 kali sampai Korban berhasil lolos keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Atas kejadian tersebut Korban memutuskan untuk melaporkan masalah kekerasan yang dialaminya ke Polres Belu.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Plt Kepala Kejaksaan Negeri Belu Yoanes Kardinto, S.H., M.H., dan Jaksa Fasilitator Mariam. N. MabilanI, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Setelah itu, Saksi Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Plt Kejaksaan Negeri Belu Yoanes Kardinto, S.H., M.H. , mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Wakil Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur Ikhwan Nul Hakim, S.H.
Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Wakil Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur Ikhwan Nul Hakim, S.H. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Jumat 14 Februari 2025.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
● Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
● Tersangka belum pernah dihukum;
● Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
● Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
● Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
● Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
● Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
● Pertimbangan sosiologis;
● Masyarakat merespon positif.
“Kepala Kejaksaan Negeri Belu dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum. (Red)