adhyaksanews.online, BABEL
Episode 2
KESULTANAN BANGKA
Sejak jaman kesultanan beliau pada tahun 1724-1851 setelah diangkatnya Sultan Muhamad Ali di Kepulauan Bangka-Belitung pusat pemerintahan berada di Bangka Kota (Kute) saat ini masuk dalam wilayah Bangka Selatan. Dengan kepandaiannya menata Pemerintahan Kesultanan, Kepulauan Bangka Belitung menjadi maju pesat, baik di bidang pertanian lada, karet, cengkeh dan yang tak kalah penting lagi hasil tambangnya yaitu timah.
Pada struktur Kesultanan dibagi-bagi menjadi raja-raja kecil Bernama DEPATI. Seperti Depati Bahrin yang membawahi Bangka Kota dan sekitarnya, Depati Hamzah yang membawahi daerah yang sekarang disebut Bukit Intan, Depati Syamsudin yang membawahi Muntok dan sekitarnya. Ada lagi dibawah Depati yakni semacam kecamatan yang di pimpin oleh sorang Demang. Setiap DEPATI di dampingi seorang penasehat seorang Ulama yang di panggil Syeh. Kemudian Syeh inilah yang memegang peranan penting dalam sistem pemerintahan Depati, terutama dakwah islamnya di setiap daerah. Dalam bidang keamanan depati dipimpin seorang Hulu Balang (komandan) setiap Hulu balang di setiap Depati di bekali Kebatinan (ilmu keahlian). Di setiap kampung di kepalai seorang yang bernama KEGADING. Setiap kegading di bantu beberapa orang Dukun sebagai sarana pengobatan dan keamanan rakyat. Begitu pula pada urusan perkawinan di sebut PENGHULU untuk menikahkan perkawinan. Adapun pada penerimaan pajak di sebut PUNGUT sebagai zakat untuk di bayar kepada Kesultanan besarnya sudah di tentukan menurut syariat Islam. Untuk pengaturan pengarapan lahan pertanian sudah di buat peraturan dengan nama Hukum Haminte. Sehingga pada roda pemerintahan Kesultanan Muhammad Ali (Batin Tikal) saat itu terlihat berjalan terstruktur meskipun sarana & prasaranan masih seadanya.
Dalam penyebaran islam di Bangka- Belitung Kesultanan Bangka ini cukup berhasil karena di bantu para ulama dari luar Pulau Bangka seperti dari Kalimantan, Palembang, Jawa bahkan hampir dari semua daerah. Karena saat itu masyarakat bangka sebelumnya masih banyak yang masih memeluk animisme-dinamisme dan belum masuk islam. Kepercayaan masyarakatnya masih di dipengaruhi Kerajaan Hindu Sriwijaya di Kota Kapur (Bangka Induk) yang pernah menguasai Nusantara pada masa silam.
Sultan Muhammad Ali juga seorang panglima perang yaitu bergelar Fatih Krio panting alias Panglima pantun. Beliau di kenal dengan karomahnya ilmu bela diri Silat sambut dan ilmu kebatinan. Hebatnya lagi, Fatih Krio Panting mempunyai ilmu atau batin yang tubuhnya di potong bisa menyambung lagi dan terkenal oleh masyarakat Bangka beliau bernama Batin Tikal. Kendati Sultan ini memiliki keahlian dan multitalenta namun tidak membuatnya surut dan gentar untuk melawan Belanda, bahkan beliau sampai keluar dari Kerajaan untuk ikut bersama rakyatnya dengan menyamar sebagai orang biasa.
Rakyat bangka lebih mengenal beliau dengan julukan BATIN TIKAL, mulai menjadi Fatih Krio Panting (Panglima pantun) tahun 1776. Sejak merebut kembali Kesultanan Mahmud Badarudin yaitu adiknya, lalu diambil alih oleh Sultan Ahmad Najamudin Adi kusumo (1758-1776) yang berkerja sama dengan Belanda, Kemudian Sultan dinobatkan menjadi Muhammad Badarrudin (1776-1804) menggantikan nashab Ahmad menjadi nashab Muhammad didepan nama Sultan saat setelah menguasai wilayah Palembang.
Dalam percakapan beliau selalu menggunakan sastra PANTUN sebagai komunikasi kepada bawahannya, boleh dikatakan sastra PANTUN mulai terkenal pada zaman SULTAN MUHAMMAD ALI. Dalam urusan perdagangan Kesultanan Bangka menjalin hubungan erat dengan pedagang dari Arab dan Tiongkok yang sudah lama terbentuk dari kerajaan palembang, yang dikenal dengan nama Jalur Sutra. Karena saat itu Sultan Muhammad ali (Batin Tikal) dan Sultan Mahmud Badarrudin tidak mau kerjasama dengan VOC atau belanda untuk melanjutkan perjanjian Sultan Agung Kamarrudin pamannya sendiri, karena perjanjian tersebut sangat merugikan pihak kesultanan.
Di zaman Kesultanan Muhammad Ali dan Sultan Mahmud Badarudin inilah masa keemasan Kepulauan Bangka-Belitung dan Palembang Darussallam berlangsung jaya, sehingga banyak sastra-sastra berkembang di Bangsa Melayu terutama pantun dan adat istiadat bernuansa Islam.
Bersambung ; —-
( Hairul Anwar Al-ja’fary – Adhyaksanews )