Kerakusan Pengusaha dan Penguasa Abaikan Amanat Kunstitusi Oleh: Misnato Petualang Jurnalis

Adhyaksanews, Kalimantan Tengah — Kerakusan pengusaha dan penguasa di bidang perkebunan kelapa sawit serta pertambangan di Kalimantan umumnya dan di Kalimantan Tengah khususnya secara kasat mata secara terang-benerang mengabaikan amanat konstitusi.

Kehadiran pengusaha dan penguasa di Bumi Kalimantan merupakan dosa besar bagi pemangku kebijakan pemerintah yang tidak maksimal melakukan pengawasan dan penertipan terhadap pelaku usaha yang seenak perutnya merusak Bumi/Alam/Hutan dan lingkungan.

Sengkarut kebijakan dan kurangnya pengawasan serta penertipan terhadap penguasa dan penguasa rakus, dengan merusak Alam/Hutan dan lingkungan ini mengakibatkan bumi menjerit dan menangis.

Akibat jeritan dan tangisan Bumi/Alam/Hutan dan lingkungan ini, publik pun cukup lama sudah menyumbangkan tangisannya, karena alam di Bumi Kalimantan sudah tidak bersahabat lagi. Bencana alam pun sering terjadi seperti gempa bumi dan benjana banjir menjadi langganan sepanjang tahun.

Petaka kebijakan pemerintah dengan segudang masalah tatakelola agenda publik yang kian carut marut serta gerak gerik roda pembangunan terasa nihil untuk mensejahterakan rakyat. Sumber kekayan alam disulap menjadi tangisan rakyat jelata, bahkan ada yang menjadi korban tumpahan darah.

Sumbangan terbesar tangis publik disebabkan tangan-tangan kotor yang begitu kejam; menyedot, menusuk dan merusak hamparan alam, tempat dimana publik berteduh dan tegak berdiri.

Kehancuran atas kerusakan ekosistem alam bukan hal yang baru disuarakan pelbagai kalangan. Tak kurang sejumlah aktivis lingkungan, akademisi, politisi, jurnalis, dan kaum agamawan hingga pemerintah sendiri mengampanyekan merawat alam (save our nature).

Fatwa demi fatwa pun dihujankan, namun tak juga menyurutkan ”banjir” tangis duka publik. Kecaman demi kecaman terus dilantangkan. Kritik demi kritik terus disuarakan. Celakanya, tak satu pun di gubris pemangku kebijakan.

Pemimpin dalam bahasa agama dikenal sebagai ulil amri (pemimpin ummat), mereka berperan begitu strategis guna menata keharmonisan tatakelola lingkungan dan laku hidup.

Tentu, laku hidup meniscayakan aspek keluhuran budi. Bagaimana ia mengayomi rakyat di berbagai level secara arif dan bijak. Aspek-aspek ideal itu, kini direnggut dari sanubari pemimpin.

Pada titik simpul: pemimpin telah tercerabut dari rahmat Tuhan. Tuhan dinistakan dalam manifestasi agama yang rahmatan lil ‘alamin. Ruang publik dibelenggu hawa nafsu dan emosi.

Rakyat hanya pasrah terhadap luka yang diderita akibat kedzaliman pemimpin. Ironisnya, perbuatan melawan hukum terus dilanjutkan secara masif di atas persekongkolan penguasa dan pengusaha. Kini tangisan publik semakin nyaring disuarakan.

Hamparan kekayaan alam, di atas bumi Indonesia adalah anugerah Tuhan bagi kehidupan rakyat bagi generasi penerus. Sejatinya, limpahan kekayaan itu menjamin kemakmuran, bilamana ditegakkan pada porsi yang wajar dan bertanggungjawab.

Alih-alih memberikan kesejahteraan. Tapi apa lacur, kekayaan alam justru menjadi terumbu bencana bagi rakyatnya. Belakangan, silaunya kekayaan merubah wujud penguasa dan pemodal menjadi serigala ganas, merampas hingga mencabik sendi-sendi rasa kemanusian.

Mengutif tulisan Akhmad Lazuardi Saragih Pegiat Jurnalisme Sastrawi. Pembaca Puisi dan Almunus FISIP Unlam terkait Merawat Kewarasan dan Kerakusan Nurani.

Kita mahfum, manusia mempunyai rasa dan asa, namun kita harus sadar, bumi dimana kita berpijak dengan segala isinya milik kita bersama. Indonesia yang kita huni adalah milik publik yang sama-sama harus di rawat sesuai titah Al-kitab dan konstitusi.

Tak ada pesan Al-kitab yang mewahyukan alam dirusak. Perbuatan merusak alam justru bertolak belakang dari tranformasi pewahyuaan Al-kitab. Kini, alam pun menangis sedih di atas pangkuan ibu pertiwi.

Suramnya pengelolaan tatakelola lingkungan dan sumber daya publik menandaskan pemimpin tengah memonopoli arah pembangunan ke pentas permainan ”bola api” yang menyulut kematian rakyatnya.

Inilah cermin dimana brutalitas kekuasaan pemodal memenangkan pentas kehidupan di atas otonomi. Inilah tempat, daerah hidup kita yang hanya memberikan kesempatan besar bagi orang-orang yang berpendapatan lebih.

Dan, inilah Indonesia tempat kita berteduh, dimana rakyat miskin dan berpendidikan rendah menjadi penonton atas derita yang diembannya. Sebuah sengkarut laku hidup yang tak bisa terlukis dalam tinta sejarah manusia di abad modern.

Indonesia dengan segala gemah ripah alamnya adalah miniatur ”surga”. Bukankah dengan limpahan kekayaan bumi Indonesia dan hamparan alam dapat menyapu penderitaan rakyat yang tergerus oleh patologi sosial: kebodohan, kemiskinan dan kemalaratan.

Tak ada angka statistik yang secara pasti menunjukan angka kebodohan, kemiskinan dan kemalaratan. Namun secara kasat mata penyakit itu tengah berada di depan kita. Secara seksama mungkin penyakit itu, telah diderita oleh kita sendiri.

Dahsyatnya patologi sosial yang tengah menghinggapi publik dewasa ini, menandaskan nurani pemimpin berada di ambang ketidakwarasan. Nurani pemimpin tergerus menutupi kepekatan dan berganti menjadi kepongahan serta keserakahan. Sebuah tragedi kemanusian abad modern.

Dalam derajat tertentu, kebekuan nurani berbuah tragedi kemanusian, yang menghempas manusia-manusia menjadi kepompong, bertebaran tanpa dihelai buah akal dan pikiran. Akal benar-benar dinistakan, nurani ditenggelamkan.

Kecaman demi kecaman atas sumpah serapah rakyat, sudah tak dapat diukir dalam balutan kegundahan. Teriakan demi teriakan rakyat akibat pedihnya sembilu menusuk kalbu lenyap dari nurani pemimpin.

Nurani pemimpin bergeser ke arah kekuasaan dan kerakusan. Kekuasaan menjungkir balikkan keluhuran budi. Moral hazard jadi pandu pemimpin.

Detak jantung rakyat mulai tersendat. Sinyal kematian atas sulutan ”bom waktu” mulai terasa disekujur lorong kehidupan. Tancapan ”ranjau-ranjau” di pentas kehidupan tak luput melukai adegan demi adegan.

Pentas kematian rakyat kini semakin dekat. Arah jarum jam kehidupan mengiringi dentuman ”bom waktu” yang siap ”meledak”. Pelatuk ”bom waktu” ada di tangan pemimpin guna menghentikannya, tinggal bagaimana ia menghentikannya.

Simpul pikir: hanya pemimpin lalim yang mau melahirkan generasinya mati secara sia-sia di atas riwayat hidup sejarah kepemimpinannya, demikian.

Penulis : Misnato Petualang Jurnalis Asal Sampit.

Pos terkait

banner 728×90 banner 728×90 banner 728×90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *