Adhyaksanews. PANGKALPINANG- Perkara kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) soal pemanfaatan kawasan hutan negara atau hutan produksi Sigambir di Desa Kotawaringin, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten. Bangka seluas 1.500 hektare (ha) sampai saat ini terus bergulir dalam pengembangan penyelidikan oleh tim Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung (Kejati Babel).
Namun dilain pihak penanganan perkara kasus dugaan Tipikor satu ini justru dinilai Dr Andi Kusuma SH MKn CTL pengacara PT NKI asal AK Law Firm & Partners ada kesan pihak-pihak mencoba ‘mengkriminalisasi’ direktur PT Narina Keysa Imani (NKI), Air Setioko dengan modus pemufakatan jahat yang terorganisir.
Terkait kasus lahan Kota Waringin ini hingga menyeret kliennya (Ari Setioko), pihak AK Law Firm & Partners pun akhirnya, Jumat (9/8/2024) malam sekitar pukul 21.00 WIB bersama sang direktur PT NKI mendatangi gedung Kejati Babel guna mengantarkan berkas laporan terkait dugaan keterlibatan PT FAL, PT SAML, PT BAM dan PT BAP dalam pusara kasus lahan Kota Waringin.
Lebih jauh Andi menjelaskan sebagaimana sesuai isi surat dalam berkas laporan diberikan ke pihak Kejati Babel, Jumat (9/8/2024) malam tersebut menurut ia jika awal pengurusan perizinan diajukan oleh kliennya juatru dilakukan sejak tahun 2017-2019 saat masa kepemimpinan Erzaldi Rosman masih menjabat selaku Gubernur Babel.
“Bahwa terkait dokumen legalitas perizinan klien kami itu justru baru ditandatangani oleh Gubernur Babel saat itu (Erzaldi Rosman – red) tepatnya pada bulan April 2019,” terangnya seraya menambahkan jika PT NKI berdiri tahun 2017 lalu dengan akta pendirian nomor 34 tanggal 10-05-2017 oleh Notaris Muhammad Ukasyah SH MKn.
Kegiatan usaha yang dijalankan oleh kliennya tersebut yakni bergerak dibidang perkebunan, namun belum lama mendirikan perusahaan (PT NKI) sebagaimana disebutkan diatas menurut Andi kliennya (Ari Setioko) justru sempat didatangi polisi hutan (Polhut) dari Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dalam hal ini kegiatan usaha yang dijalankan oleh kliennya justru telah diarahkan oleh pihak Polhut hutan agar membuat perizinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
“Nah terhadap arahan (Polhut Dinas Kehutanan- red) tersebut, klien kami (Ari Setioko – red), kemudian menyetujui dan mengikuti proses pelaksanaan dari pengurusan izin tersebut,” kata Andi mengurai kronologis kejadian.
Perizinan yang pernahbl diajukan oleh kliennya sajak tahun 2017 lalu terkait persetujuan teknis atau dokumen administratif lainnya menurut pihak Dinas Kehutanan ketika dikonfirmasi saat itu justru dinyatakan telah lengkap dan selanjuynya akan dilakukan proses rekomendasi;
Namun anehnya menurut Andi, ketika kliennya (Ari Setioko) kembali. mengkonfirmasi terkait keabsahan dari dokumen perizinan tersebut justru pihak Dinas Kehutanan hanya menyampaikan bahwa lahan seluas 1500 ha tersebut itu sudah ada perizinan.
Selanjutnya lanjut Andi, klien Kami pun bertanya terkait pembayaran pajak justru pihak Dinas Kehutanan menjelaskan jika pajak pada saat itu sudah tidak bayar. Bahkan sebelumnya pihak Dinas Kehutanan sempat menyatakan agar jangan dulu membayar pajak sambil menunggu Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) untuk NDJKI dari Menteri kehutanan.
Menurut Andi, dalam hal ini pun ditegaska ia jika kliennya sebelumnya telah dilakukan upaya permohonan Perizinan Berusaha Pemnfaatan Hutan (PBPH) berdasarkan surat nomor : 136/NK/XII/BABEL/2023, termasuk telah dilakukan upaya penghitungan PNBP dan PSDHDR berdasarkan surat nomor : 134/NKI/XII/BABEL/2023.
Berdasarkan butir ke 4 dan 5 pada amar keenam keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 6614/MENLHK-PKTL/KUH/PLA/10/2021 tanggal 27 Oktober 2021 tentang Peta Perkembangan pengukuhan kawasan hutan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sampai tahun 2020 bahwa terhadap areal pada peta atau pada lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.797/Menhut-II/2012
Dalam hal ini menurut Andi tergambar sebagai kawasan hutan dan setelah disempurnakan statusnya adalah bukan kawasan hutan maka dalam hal telah memiliki perizinan berusaha di bidang kehutanan, maka statusnya masih kawasan hutan sampai batas waktu perizinan berusaha berakhir dan selanjutnya dikeluarkan dari kawasan hutan.
“Dilakukan perubahan areal perizinan berusaha. Dalam hal belum diterbitkan perizinan berusaha maka statusnya adalah bukan kawasan hutan,” sebut Andi.
Berdasarkan amar keenam keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 6614/MENLHK-PKTL/KUH/PLA/10/2021 tersebut diatas menyatakan : “Apabila masih mendapatkan izin kehutanan maka harus melepaskan atau melakukan perubahan area arsial”.
“Dalam kondisi ini klien kami telah mendapatkan izin sehingga klien kami hanya mengikuti peraturan yang berlaku saja. Akan tetapi tiba-tiba klien kami mendengar bahwasannya telah terjadi penandatanganan oleh dua perusahaan KPPR,” terangnya.
Sejumlah perusahaan dimaksudnya itu yakni PT FAL dan PT SAML yang berkoordinasi dengan pihak pemegang perizinan berdasarkan surat nomor : 5.56/BUPH/UPHWI/HPL.2.1/B/3/2024, namun kedua perusahaan ini menurutnya tidak menjalankan sebagaimana yang harusnya diatur dalam keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 6614/MENLHK-PKTL/KUH/PLA/10/2021.
“Sebelumnya klien kami telah melakukan upaya musyawarah dan penyampaian langsung kepada pihak manajemen PT FAL dan PT SAML namun tidak mendapat respon yang baik dari kedua perusahaan tersebut,” kata Andi.
Setelah diketahui jika PT FAL telah terikat dengan MOU (Memorandum of Understanding) dengan pihak Pemdes Kota Waringin dengan komitmen jual beli lahan seluas 20 juta per hektar berdasarkan MOU No. 011/SPK-SM-II/FAL/VII/2023.
“Bahwa terhadap jual beli lahan tersebut, diduga kemudian yang dikelola adalah kategori lahan hutan primer yang mana diduga telah dibuat manipulasi data oleh Pemdes Kota Waringin kepada masyarakat,” terangnya.
Kemudian dalam hal ini komitmen 20 juta per hektar sebagaimana disebutkan dalam MOU tersebut diatas, namun pada faktanya hanya dibayar Rp 12 juta perhektar kepada masyarakat Kota Waringin, dan terhadap fakta ini kata Andi masyarakat Kota Waringin siap untuk bersaksi.
“Masyarakat pada dasarnya tidak mengetahui bahwa MOU (memorandum of understanding) dengan Pemdes Kota Waringin adalah dengan komitmen jual beli lahan seluas 20 juta per hektar,” jelasnya.
Oleh karenanya hingga akhirnya telah dikirimkan pengaduan penanganan dengan nomor register 2304099 kepada Balai Pengamanan Dan Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Wilayah Sumatera yang kemudian telah dibalas dengan surat Nomor : S.252/BPPHLKH.I/TU/GKM/O.O/01/2024 tertanggal 22 Januari 2024.
*Andi : Pemufakatan Jahat Corperate Terorganisir
“PT BAM dan PT BAP tidak melakukan upaya pembebasan sebagaimana tertuang dalam keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 6614/MENLHK-PKTL/KUH/PLA/10/2021 serta tetap diperjual belikan kepada masyarakat.
Oleh karenanya ia menegaskan jika kliennya sama sekali tak mengetahui terkait jual beli lahan oleh perusahaan tersebut kepada masyarakat. “Terkait PT BAM klien kami tidak tahu menahu karena PT BAP langsung memperjual belikan Iahan kepada masyarakat dengan kata lain PT BAM melakukan jual beli dan menawarkan sendiri kepada masyarakat secara melawan hukum,” tegas Andi.
Padahal, menurut pengacara ini jika lahan-lahan yang diperjualbelikan itu menurut Andi merupakan tergolong Area Penggunaan Lain (APL), dan terkait PT SAML terdapat ikut campur tangan Pemdes yaitu tim 9, salah satu dari bagian tim tersebut adalah oknum ketua BPD yaitu Subiantoro yang kemudian diikuti oleh perangkat-perangkat desa serta oknum Kepala Desa (Asnan).
“Jadi terhadap kronologis tersebut diatas diduga telah terjadi pemufakatan jahat antara koorporat dan pemerintah yang mengakibatkan kerugian negara pada lahan kota waringin daerah Kabupaten Bangka,” tegas Andi.
Akibat dari tindakan emufakatan jahat antara koorporat dan pemerintah yang mengakibatkan kerugian negara pada lahan Kota Waringin, Mendo.Barat, Kabupaten Bangka. Berdasarkan PP No. 23 Tahun 2021 tentang menyelenggaraan kehutanan menyebutkan :
Pasal 152 :
“Setiap kegiatan pemanfaatan hutan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud pasal 149 wajib memiliki perizinan pemanfaatan lingkungan dari Menteri”
*Kerugian Capai Rp 25 M
Berdasarkan pasal tersebut diatas kewenangan memberikan rekomendasi adalah dari Kementrian bukan melalui kepala daerah;
Bahwa jikalau adapaun Kepala Daerah yang memberikan perintah atau instruksi kepada Kepala Dinas adalah suatu perintah jabatan yang menyalahgunakan hasil telaah dan kajian Kepala Dinas;
“Bahwa oknum korporat serta oknum pemerintah sebagaimana dsebutkan diatas (PT.SAML. PT.FAL, PT. BAP, Pemdes Kota Waringin) telah melanggar pasal 152 sebagaimana disebutkan diatas,” kata Andi.
Begitu pula terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara terorganisir oleh oknum kooporat serta pemerintah telah menyebabkan kerugian negara kurang lebih 25 miliyar; Bahwa berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 menyebutkan bahwa :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Bahwa dengan ini kooporat terkait yaitu PT SAML, PT FAL, PT BAP, serta Pemdes Kota Waringin dengan ini diduga telah memenuhi unsur Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001;
“Jadi patut diduga kooporat terkait yaitu PT. SAML, PT. FAL, PT. BAP, serta Pemdes Kota Waringin telah melanggar Pasal 152 PP No. 23 Tahun 2021 tentang menyelenggaraan kehutanan menyebutkan :
“Setiap kegiatan pemanfaatan hutan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud pasal 149 wajib memiliki perizinan pemanfaatan lingkungan dari Menteri”
Selain itu ditegaskanya, patut diduga kooporat terkait yaitu PT. SAML, PT. FAL, PT BAP, telah melanggar Pasal 78 Ayat 2 Jo. Pasal 50 Ayat 3 Huruf a Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah dengan Pasal 36 Angka 19 Pasal 78 Ayat 2 Jo. Pasal 36 Angka 17 Pasal 50 Ayat 2 Huruf a Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan ancaman penjara maksimum 10 tahun dan denda masimal 7,5 milyar rupiah.
(Team@Adhyaksanews//sumber RMN//A2S Bangka Belitung