Oleh: Dato’ Marwan Alja’fari, DPMP, Al Hajj
Ketua PW MABMI KBB
Setiap musim hujan tiba, rumah saya selalu didatangi laron. Mungkin rumah siapa saja pernah mengalami hal yang serupa. Kalau kita amati laron di musim hujan, prilakunya itu kiranya bisa menjadi bahan pelajaran bagi kita, untuk bisa lebih baik dalam kehidupan ke depan.
Laron , yang hanya muncul pada musim penghujan di tengah penantian panjang di musim kemarau adalah rayap yang telah bersayap. Ia beterbangan mencari cahaya malam dan cenderung memilih cahaya lampu yang paling terang.
Laron begitu berani dan nekat melewati hujan yang sangat deras. Kenekatan dan keberaniannya dalam mendekati cahaya lampu tentunya sangat mengancam kehidupan dirinya tapi laron-laron tetap maju hingga dapat menggapai cahaya yang paling terang.
Namun uniknya, ketika telah mencapai cahaya terang laron-laron tersebut begitu bahagia dengan menari – menari riang gembira. Tapi setelah itu ia malah melepaskan sayapnya. Padahal, sayapnya itulah yang membuat dirinya bisa terbang di angkasa. Ia seolah-olah ingin menghilangkan segala kekuatan dan kesombongannya setelah mendapatkan kebahagiaan di saat dirinya telah dekat dengan sumber cahaya.
Menarik untuk ditelisik dan digali, ada apa dengan kekuatan cahaya sehingga bisa memancing laron keluar dari kegelapan di dalam sarangnya?
Secara etimologis cahaya adalah sesuatu yang menyinari suatu objek sehingga objek tersebut menjadi jelas dan terang.
Cahaya dalam bahasa Arabnya adalah nur, disebut dalam Alquran sebanyak 43 kali. Bahkan, surah ke-24 juga diberi nama dengan an-Nur.
Nur ( cahaya) berkonotasi positif dan satu akar kata dengan Nar ( api ) yang berkonotasi negatif. Nur adalah bahan penciptaan malaikat, sedangkan nar adalah bahan penciptaan iblis. Nur menyifatkan pancaran cahaya yang lembut sedangkan nar menyifatkan pancaran sinar yang membakar. Nur memiliki karakter bisa menerangi diri sendiri dan bisa menerangi apa-apa yang berada di sekelilingnya. Akan tetapi, kalau tidak dikelola dengan baik, potensi nur bisa berubah menjadi nar sebagaimana Iblis yang dulunya satu kelompok dengan malaikat akhirnya keluar dari barisan malaikat karena kesombongannya.
Begitu juga dengan manusia yang di dalam dirinya telah ditetapkan potensi “fujuroha” ( kesesatan/ nar) dan potensi “taqwaha” ( ketaqwaan/ nur).
Sejak lahir manusia, pada setiap jiwanya Allah SWT simpan dua benih, yaitu benih fujur (kefasikan) dan benih takwa (kebaikan). Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam QS Asy-Syams: 8-10, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya.”
Untuk menjadi orang yang beruntung, manusia harus bisa mengelola potensi nar menjadi nur. Karena nur itu adalah metafora cahaya Allah yang disebut dengan hidayah Allah. Sejak awal Allah telah menyediakan hidayahNya kepada siapa saja yang mau mendapatkannya. Bukankah mahluk yang pertama kali diciptakan Allah adalah berupa cahaya yang dinamakan Nur Muhammad, dan dari Nur Muhammad itulah kemudian diciptakan mahluk- mahluknya yang lain?,,,
Jadi kalau ada orang yang masih berada dalam kegelapan bukan berarti Allah tidak memberikannya hidayah tapi orang itu sendiri yang tidak mau menerima hidayah yang disediakan Allah AWT untuk dirinya bahkan untuk semua manusia.
Kemudian bagaimana caranya agar kita bisa mendapatkan cahaya / hidayah Allah SWT? Caranya adalah kita tidak boleh mengotori jiwa dan batin kita dengan terus berbuat dosa dan kesalahan. Semua itu akan mengakibatkan kita menjadi terhijab dan terhalang dari nur cahaya Allah.
Mari kita belajar dengan Nabi Yunus saat ia berada dalam kegelapan di dalam perut ikan Nun. Di dalam kegelapan ia malah manfaatkan dirinya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, dengan terus berdoa, “Tidak ada tuhan melainkan engkau, mahasuci engkau sesungguhnya aku ini termasuk orang yang zhalim”.
Di dalam doanya ada kepasrahan pada Allah dan pengakuan atas dosa dan kesalahannya. Tujuannya tidak lain agar bisa keluar dari kegelapan di dalam perut ikan Nun dan segera mendapatkan cahaya terang.
Jiwa/batin manusia itu kalau dianalogikan seperti kaca cermin, ia akan mampu menyerap sinar matahari kemudian memantulkan kembali sinar itu kepada sekelilingnya agar semua menjadi tampak. Syaratnya, kaca itu bersih dan bening. Tapi jika cermin itu kotor penuh dengan lumut dan debu, bagaimana mungkin ia bisa menyerap sinar matahari apalagi kembali memantulkan sinar itu kepada yang lain.
Nabi Muhammad adalah contoh cermin yang terbaik. Misi kehadirannya di muka bumi ini sering disebut dengan “minazzulumati ilan nur”, membawa manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang. Ia serap cahaya ilahi kemudian dipantulkan cahaya itu ke seluruh alam.
Kita yang hidup di alam dunia ini, tentunya memiliki hakekat hidup. Hakekatnya tidak lain adalah mencari dan merindukan cahaya ilahi, dan syarat untuk mendapatkannya, batin / jiwa kita harus bersih dan dibersihkan dengan sunguh- sungguh sebagaimana laron yang rela menenbus hujan lebat demi bisa menggapai cahaya.
Agar kesungguhan itu bisa dilakukan, maka manusia harus selalu bermuhasabah/ intropeksi diri karena sehebat apapun, sepintar apapun, sedahsyat dan sekaya apapun dirinya, semua itu tidak akan ada artinya jika batin dan jiwa nya berada dalam kegelapan. Bukankah setiap dosa yang dilakukan akan memberikan titik hitam kedalam qolbu?
Sering kita menyaksikan seseorang yang memiliki ilmu dan jabatan yang tinggi tapi kata- kata dan kebijakannya malah semakin jauh dari ketentuan Allah. Kemungkinan orang ini sedang menumpukkan dosa- dosa di dalam batinnya.
Oleh karena itu mari kita singkirkan semua yang menjadi penyebab terhijabnya batin kita dari cahaya Allah SWT, di antaranya berupa keterikatan kita kepada harta, jabatan, reputasi dan popularitas. Bukan berarti kita tidak boleh mencintai semua itu, tapi jangan sampai kita terikat. Bila kita tidak terikat , lalu seumpamanya semua itu hilang, kita tidak akan galau karena rasa sayang yang berlebihan. Begitulah jika cahaya telah tertanam di dada insan. Di dalam dirinya, yang dicari hanyalah ridho Allah.
Demikianlah jika manusia sudah menggapai cahaya nur hidayah, dia akan mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa dan dirinya merasa sirna, larut dalam cahaya itu serta akan melepaskan segala sifat keakuan dan keegoan dirinya, sebagaimana laron yg melepaskan sayap- sayapnya setelah ia merasakan kebahagiaan karena telah mendapatkan cahaya petunjuk ilahi.
(Haj—Adhyakanews)