adhyaksanews.online, Babel
Bertolak dari fenomena Pulau Nangka yang sempat saya tulis dalam tulisan sebelum nya yang berjudul “ Mitos Pilkada Pulau Nangka”. Ada apa dengan pulau di Selat Bangka itu?
Dari seluruh pergelaran pemilihan umum kepala daerah yang melibatkan warga pulau itu, yaitu Pilkada Bangka Tengah dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ada suatu kesimpulan menarik.
Kesimpulan itu adalah, bahwa siapapun kandidat yang menang di pulau itu, maka dia memenangi keseluruhan pemilihan. Artinya, jika dalam Pilkada Bangka Tengah, pasangan calon menang di Pulau Nangka, maka menanglah ia di Bangka Tengah. Pun demikian dengan Pilgub. Calon Gubernur yang menang di Pulau Nangka, selama ini menang juga di total perolehan suara di Kepualauan Bangka Belitung. Lihat tabel:
Tahun
Pilkada
Pemenang di Pulau Nangka
Pemenang Pilkada
2005
Bangka Tengah
Abu Hanifah – Erzaldi
Abu Hanifah – Erzaldi
2007
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Eko Maulana – syamsuddin
Eko Maulana – syamsuddin.
2010
Bangka Tengah
Erzaldi – Patrianusa
Erzaldi – Patrianusa.
2012
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Eko Maulana – Rustam
Eko Maulana – Rustam.
2015
Bangka Tengah
Erzaldi – Ibnu Saleh
Erzaldi – Ibnu Saleh.
Apakah ini Kebetulan? Bisa jadi!
Tapi bisakah dicari rasionalisasi mengapa itu terjadi, lebih dari pernyataan: Kebetulan?! Sebab pernyataan itu hampir tidak berguna sama sekali.
Karena itu, meski menawarkan kesimpulan yang bersifat tentatif atau debatable, setidaknya tulisan ini telah menyumbangkan sesuatu yang lebih merefleksikan adanya perenungan dan juga pengamatan dilapangan.
Pertama, Pulau Nangka itu tak bisa dibantah, adalah daerah terpencil. Jauh dari pusat kabupaten dan juga pusat provinsi.
Karena itu Pulau Nangka di sini bisa dikatakan sebagai simbol KETERPENCILAN.
Kedua, Pulau Nangka itu mayoritas penduduknya adalah nelayan. Jamak diketahui bahwa nelayan kita hari ini adalah lapisan masyarakat yang paling terbelakang dari sisi ekonomi dan keuangannya.
Yang itu kemudian berefek pada keterbelakangan-keterbelakangan di bidang lainnya. Karena itu Pulau Nangka di sini bisa dikatakan sebagai simbol KETERBELAKANGAN.
Ketiga, Pulau Nangka itu keberadaannya menyadarkan kita (terutama bila telah berada di sana), bahwa kita di provinsi ini adalah orang-orang kepulauan. Laut kita lebih luas daripada daratan kita. Itu adalah potensi yang luar biasa. Tapi pemberdayaannya bagai kata pepatah: jauh panggang dari api. Karena itu Pulau Nangka di sini bisa dikatakan sebagai simbol KETERABAIAN POTENSI.
Keempat, silakan saja ditemukan sebagai simbol apa lagi.
Tapi setidaknya dengan tiga simbolisasi itu, kita dapat mengatakan bahwa:
Adalah wajar bila sosok yang memenangkan hati orang di Pulau Nangka itu dalam kontestasi pilkada, memenangkan pula pemilihan kepala daerah secara keseluruhan. Sebab, ketiga persimbolan itu: KETERPENCILAN, KETERBELAKANGAN, dan KETERABAIAN POTENSI bisa dilihat secara lahiriah/batiniah adanya di daerah/provinsi kita dalam berbagai bentuknya.
Siapa yang mengatasi KETERPENCILAN itu dengan KUNJUNGAN dan PERHATIAN ke Pulau Nangka, besar kemungkinan yang bersangkutan telah mengunjungi dan memberi perhatian pada keterpencilan di tempat-tempat lain, yang jelas tidak terlalu terpencil dibanding Pulau Nangka.
Siapa yang mengatasi KETERBELAKANGAN itu denganDORONGAN moral dan material ke Pulau Nangka, besar kemungkinan yang bersangkutan telah pula melakukan hal serupa pada keterbelakangan di tempat-tempat lain, yang jelas tidak terlalu terbelakang dibanding Pulau Nangka.
Siapa yang mengatasi KETERABAIAN POTENSI itu dengan menunjukkan kecenderungan PEMBERDAYAAN masyarakat Pulau Nangka, besar kemungkinan yang bersangkutan telah melakukan hal serupa pada keterabaian potensi di tempat-tempat lain, yang jelas tidak terlalu terabaikan dibanding Pulau Nangka.
Dalam kerangka ideologi Pancasila, langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi KETERPENCILAN. KETERBELAKANGAN, dan KETERABAIAN POTENSI seperti disebutkan di atas, adalah sesuatu yang telah dicontohkan Presiden Pertama RI, Sukarno. Lebih spesifik, Bung Karno memberikan sebutan tersendiri bagi orang-orang yang berada dalam lingkup “3 KETER” itu dengan istilah : MARHAEN!
Bagi pimpinan provinsi sekarang yang tentu memfavoritkan atau mengidolakan Bung Karno, langkah-langkah itu tentu perlu juga ditempuh. Tentu saja dengan ketulusan, bukan hanya untuk sekadar mempertahankan jabatan (dipilih dipriode berikutnya)
Terakhir, bila kita lihat posisi Pulau Nangka yang sangat pinggir dalam bingkai wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini, kita pun dapat menambahkan beberapa kalimat untuk penutup, yaitu:
“Membangun Kepulauan Bangka Belitung ini perlu dimulai dari pinggiran. Sebagaimana jargon dalam Nawa Cita : Membangun Indonesia dari Pinggiran. Sangatlah jelas dalm konteks kita, di mana pinggiran itu berada. Di mana lagi kalau bukan di LAUT, PESISIR, dan PULAU-PULAU KECIL!” seperti Pulau Nangka.
LAUT ADALAH MASA DEPAN KITA! Menang di Pulau Nangka, menang pula di tempat yang lain.
Salam Pulau Nangka.
(Tya-Adhayaksa.news)