adhyaksanews.online, Bangka Belitung
Saya sedang melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung dengan naik Bus travel Trans Bandung.
Kebetulan kursi tempat duduk saya berada disamping sopir,
saat itu mobil saya sudah menggunakan teknologi metic, dikarenakan seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi. Beda halnya dengan mobil yang dahulu, teknologi mobilnya masih manual. Kalau mobil manual ada tiga tempat yang harus diinjak, mulai dari kopling, gas dan rem, sedangkan mobil modern saat ini, sang sopir hanya cukup membutuhkan keterampilan menginjak dua tempat saja yaitu gas dan rem.
Menarik kesimpulan dari cerita di atas, kalau kita hubungkan dengan proses perjalanan manusia yang ingin mencapai tujuannya untuk bisa bertemu dengan tuhannya sangatlah selaras. Karena, suatu perjalanan akan bisa mencapai tujuan jika ada keterampilan yang bisa nge-gas dan nge-rem sehingga keseimbangan perjalanan bisa terjaga.
Perjalanan hidup ini tidak boleh terus-menerus menge-gas, karena, jika itu dilakukan maka tidak menutup kemungkinan membuat kendaraan sulit dikendalikan lalu terjadilah kecalakaan. Kendati demikian, kita-pun tidak boleh menginjak rem terus-menerus, karena jika tak henti menge-rem tentu kendaraan tidak bergerak dan mustahil kendaraan tersebut sampai ke tempat tujuan.
Lalu, bila kita amati rute perjalanan yang dilalui ternyata harus melewati jalan yang berputar sebagaimana perputaran bumi mengelilingi matahari, bisa juga di ibaratkan, seperti kita main suit ( tos), jari telunjuk kalah dengan jempol, jempol kalah dengan kelingking, kelingking kalah dengan telunjuk begitulah rotasi perputannya, satu sama lain saling berkaitan. Faktanya, jika dijabarkan dalam roda kehidupan bahwa terkadang posisi manusia kadang kala diatas dan dibawah.
Kemudian dalam perjalanan nanti akan ditemui halte- halte kehidupan berupa kondisi siang dan malam, senang dan susah, gembira dan sedih, panas dan dingin, kaya dan miskin, dan sebagainya, terus menerus seperti itu. Tetapi kita tidak perlu galau jika sedang berada di posisi bawah karena suatu saat nanti akan berganti naik keposisi atas. Perputaran ini akan berakhir ketika sudah sampai pada titik tujuannya, yaitu innalillahiwainna ilaihirojiuun.
Kalau kita membuka pedoman ilmu kesempurnaan masyarakat jawa, akan kita temui tiga kekuatan yang saling melengkapi, dikenal dengan nama tiga dalam satu yaitu Cakra Manggilingan, Ojo Dumeh nan Waspada, artinya dalam menjalani perputaran roda kehidupan , kita hidup tidak boleh mentang-mentang dan teruslah waspada serta jangan lupa diri.
Implikasi kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa perputaran roda kehidupan haruslah dijaga dan dirawat agar terus berputar, jangan sampai macet, karena apabila ini terjadi maka kasihan dengan posisi yang sedang berada di bawah, bisa jadi ia akan tertekan dan sengsara dalam waktu yang lama. Sementara, bagi yang berada di atas bila terlalu lama tanpa turun, akan berbahaya juga bagi dirinya. Pasalnya, kalau selalu berada ‘di atas’ identiknya hati selalu bersenang-senang dan tidak pernah merasakan susah dan merana, justru inilah yang membuat ia terlena dan lupa diri. Akibatnya, Ia akan lupa dengan tugasnya untuk menginjak pedal rem, karena kakinya selalu menekan gas tanpa ingat apapun yang terjadi diperjalanan, tak pelak membuat dirinya celaka dan terjungkal ke dalam jurang.
Apabila ditela’ah lebih dalam lagi narasi ini, sangatlah menarik untuk di cermati, karena masyarakat indonesia sebentar lagi di th. 2024 akan mengadakan pesta demokrasi, Berupa tahun politik, tak heran di pelataran pinggir jalan banyak spanduk dan baleho jargon2 calon legislatif tingkat daerah maupun pusat. Bahkan pada tahun itu pula kegiatan PILPRES, PILGUB, PILBUP, PILWAKO dan PILEG diadakan. Sehingga jangan heran pada musim ini iklim politik mengalami cuaca panas yang extrim.
Sehingga, bukan tidak mungkin terdampak kepada persaudaraan, kebersamaan, dan kekompakan masyarakat yang selama ini telah terbangun akan mengalami gangguan dari para politisi yang sedang melakukan “Panggung Sandiwara” untuk memperoleh dukungan suara rakyat.
Bisa jadi, politik identitas adalah isu populer yang mereka angkat, yaitu berbau SARA dan kembali mereka gulirkan. Tentu, memasuki iklim ini masyarakat diminta harus cerdas mengendalikan emosi nya. Keterampilan ngegas dan ngerem harus digunakan, kalau tidak, maka kita akan larut dengan permainan mereka dan perpecahan antar sesama kita pun tidak bisa terelakkan lagi. Karena masyarakat kita banyak yang belum dewasa dalam menyikapi setiap datangnya musim politik, akibaatnya politik seolah-olah menjadi energi untuk terus berseteru bukan untuk berpadu menciptakan kebajikan bersama.
Pada musim ini biasanya akan banyak pula ditemui adanya para pendakwah dadakan, mereka terus berseru ke jalan lurus, pentingnya berserah diri kepada Sang Ilahi Rabbi, memperbanyak untuk beramal kebajikan, menjauh dari gibah dan namimah (fitnah).
Namun setelah itu , mereka ikuti dengan memaki dan menebar kebencian serta membuang tabayun untuk sesuatu yang belum pasti.
Belakangan saya kerap berdebar, karena mendengar ceramah dan tausiah di beberapa masjid, beberapa kali saya mendengar para pendakwah menggemakan isu-isu sumir di media sosial. Kerap sang pendakwah lupa bahwa konteks bicaranya di tempat ibadah dengan pendengar yang khusus (umat Islam), tapi pengeras suara membawanya ke ruang publik yang luas. Bukankah di sekitar masjid juga banyak bermukim saudara kita yang lintas iman.
Jujur, saya tak akan gembira kalau melihat fakta ada warga negara yang menjadi tersangka pidana, apalagi sampai dipenjara, hanya gara-gara fanatisme terhadap dukungan politik, ini menandakan bahwa kita tidak cerdas dalam mengantisipasi situasi yang penuh dengan dagelan dan sandiwara.
Semestinya alam demokrasi harus membuat seluruh warga negara bergembira karena bisa menyalurkan kebebasan dukungannya, tapi mengapa malah membuat mereka jadi terkekang.
Kita mafhum, salah satu kemewahan demokrasi ialah kebebasan warga negara mengeluarkan pendapat. Namun, kita juga mesti paham tak ada kebebasan yang tak bertepi melintasi segala cakrawala.
Benar apa yang dikatakan salah seorang pengajar filsafat Universitas Indonesia, Donny Garhal Adian, bahwa didalam demokrasi itu ada kebebasan dan adapula batas kebebasan.
Kebebasan itu Ibarat mobil, dan demokrasi itu gas nya, sementara Pancasila adalah remnya.
Demokrasi membebaskan kita berpendapat, dan Pancasila menghentikan pendapat yang meretakkan persatuan.
Sepertinya manajemen menginjak gas dan menekan rem inilah yang masih menjadi problem kita. Ada yang masih mabuk kebebasan demokrasi, dengan menginjak gas sepanjang jalan dan lupa menginjak rem.
Mereka abaikan kepantasan, etika, dan hukum. Ketika diingatkan, mereka berdalih, ini hak konstitusional warga negara, kalian mesti menghormati kami. Mereka lupa di sana ada hak konstitusional sesama saudara, yang juga tak boleh diganggu.
Mengapa di negeri ini perbuatan memaki, menuduh sesuka, dan mengancam sepertinya sudah menjadi budaya dan kegemaran baru.
Seolah-olah telah menjadi kegagahan dan kebanggaan bagi dirinya. Oleh karena itu agar kita bisa mencapai tujuan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT, jangan lupa tingkatkan keterampilan kita untuk nginjak gas dan nginjak rem,..
( Hairul Anwar Al-jafari Adhyaksanews )