adhyaksanews.online, Babel
Oleh. Marwan Alja’fari
Memasuki tahun politik tahun 2024 banyak terjadi hal-hal yang mengejutkan dan menarik untuk diikuti perkembangan politiknya dari hari ke hari.
Pada saat pengumuman daftar calon sementara anggota DPR beberapa waktu yang lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita keluarga Hary Tanoe Soedibyo, Ketua Umum Partai Perindo, karena ia mengusung semua anggota keluarganya menjadi bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Publik menilai hal itu sebagai bentuk upaya membangun dinasti politik, tapi ada juga yang berpendapat bahwa keluarga Hari tanoe itu merasa terpanggil ingin mengabdi kepada bangsanya.
Tidak berhenti sampai disitu, publik kembali dikejutkan dengan manuver politik yang dilakukan oleh salah satu putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang bergabung lalu langsung menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kaesang terjun ke dunia politik menyusul jejak ayahnya, kakaknya Gibran Rakabuming Raka, dan iparnya Boby Nasution.
Hal ini juga dinilai publik sebagai bagian dari rencana untuk melanggengkan dinasti politik keluarganya, atau juga terpanggil ingin ikut membangun bangsa seperti keluarganya yang lain.
Dilatarbelakangi beberapa kejadian tersebut, tidak lama setelah itu publik kembali dihebohkan dengan istilah politik dinasti dan dinasti politik yang belakangan ini, sangat ramai dibicarakan oleh masyarakat.
Istilah tersebut kembali mencuat setelah Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) masuk dalam bursa calon wakil presiden (cawapres) pendamping calon presiden (capres) Prabowo Subianto.
Peluang Wali Kota Solo tersebut sebagai cawapres Prabowo semakin menguat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin adik ipar Jokowi memutuskan perubahan batas usia minimal capres-cawapres di Undang-Undang Pemilu. Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diputuskan: umur di bawah 40 tahun boleh menjadi Capres/ Cawapres, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Sebelumnya, keikutsertaan Gibran dalam Pemilu 2024 terganjal aturan batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun dalam undang-undang tersebut. Setelah putusan MK, Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo akhirnya resmi mengumumkan Gibran sebagai cawapres. Pasangan Prabowo-Gibran pun kemudian mendaftar ke KPU beberapa hari lalu.
Dipilihnya Gibran sebagai cawapres Prabowo tersebut memunculkan anggapan Presiden Jokowi tengah membangun dinasti politik.
Menanggapi hal ini Bapak Jokowi saat ditanya wartawan mengatakan, bahwa isu dinasti politik ini nanti kembali kepada rakyat yang menilai. Dia menekankan bahwa hasil pemilu ini tergantung dari pilihan rakyat, bukan ditentukan oleh para elite-elite.
Dengan ramainya perbincangan tentang politik dinasti dan dinasti politik, kita sebagai masyarakat awam timbul rasa ingin tau tentang topik isu yang sedang aktual ini.
Salah satunya, apa yang dimaksud dengan politik dinasti dan dinasti politik itu?
Menurut pengamat politik sekaligus Direktur Setara Institute, Halili Hasan, istilah dinasti politik dan politik dinasti sama-sama bisa digunakan. Namun, ada perbedaan di antara keduanya.
Politik dinasti itu lebih mirip dengan monarki, di mana politik ditentukan atau berorientasi untuk kepentingan keluarga tertentu saja. Sementara dinasti politik adalah ikatan keluarga, baik keluarga inti atau keluarga besar, yang menguasai sistem politik di suatu negara.
Lebih lanjut Halili mengatakan bahwa keluarga yang menerapkan dinasti politik biasanya menguasai kepemimpinan di legislatif (MPR, DPR, dan DPD), eksekutif (presiden, wakil presiden, dan menteri), dan/atau yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial), seperti yang terjadi dalam politik Indonesia saat ini.
Dinasti politik tidak hanya berlaku saat seorang politikus sudah menjabat posisi yang sama dengan anggota keluarga lainnya,
akan tetapi saat ada politikus yang baru dicalonkan mengisi posisi politik tertentu, meskipun jabatannya tidak sama dengan jabatan anggota keluarganya, itu bisa juga disebut sebagai dinasti politik.
Dikatakan pula oleh Halili Hasan, banyak faktor yang menyebabkan dinasti politik bisa terjadi di suatu negara. Pertama, karena kuatnya budaya patronase dan klientelistik di tengah-tengah masyarakat kita. Artinya, sistem politik di Indonesia membuat publik menganggap satu orang atau kelompok sebagai patron atau teladan. Posisi sebagai teladan itu diberikan juga kepada keluarganya, termasuk istri, anak, keponakan, menantu, dan relasi keluarga lainnya.
Masyarakat awam yang memposisikan diri sebagai klien lalu akan mengikuti patron tersebut.
Faktor kedua, adalah tata kelola pelaksanaan pemilu dengan aturan yang mengistimewakan satu tokoh. Misalnya, penetapan ambang batas seseorang bisa dipilih. Ambang batas itu membuat segelintir elite memiliki ruang buat diperlakukan secara lebih istimewa, segelintir tokoh elite memiliki nama yang dikenal publik. Karena itu, ada pihak yang memanfaatkan tokoh tersebut untuk ditunggangi guna mendapatkan suara di pemilu.
Faktor penyebab yang ketiga adalah biaya politik yang terlalu mahal. Akibatnya hanya segelintir orang saja yang bisa membiayai proses kampanye. Karena itu, lembaga politik hanya diisi oleh orang ber-uang dan kelompok orang tertentu saja.
Kemudian faktor keempat adalah upaya perubahan dan transisi ke rezim politik di internal partai politik tidak berjalan dengan baik. Tidak bekerjanya merit system (manajemen sumber daya manusia) dan kaderisasi, misalnya, membuat ruang bagi masuk dan naiknya orang diluar lingkaran (dinasti politik) menjadi sangat sempit.
Selain itu, pendidikan politik yang belum berjalan juga membuat orang umum tidak memahami demokrasi. Akibatnya, demokrasi diisi segelintir tokoh elite dan keluarganya saja.
Lalu apa alasan masyarakat memilih capres-cawapres dari dinasti politik? Banyak yang menyatakan alasannya adalah hasil survey. Disebutkan elektabilitas tokoh tersebut tinggi.
Padahal, menurut Halili, bukan itu yang membuat mereka terpilih, tapi karena peraturan pemilu kita yang permisif (terbuka serba boleh), sistem politik dan sistem pemilu tidak bekerja dengan baik, sementara penegakan hukum pemilunya lemah, ditambah lagi masyarakat kita cenderung menerima saja calon-calon yang ada. Mereka tidak cukup kritis memahami gejala dinasti politik yang hadir di tengah pemilu.
Masih dalam soal dinasti politik dan politik dinasti,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Lusi Andriyani, M.Si., menjelaskan,
“Tren politik kekerabatan itu benihnya sudah lama berakar secara tradisional yakni sistem patrimonial. Sistem yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis. Keadaan itu merupakan bagian dari sejarah politik Indonesia yang pernah menganut sistem kerajaan.”
Lusi menegaskan bahwa kita tidak bisa melarang munculnya praktik dinasti politik dalam demokrasi, tetapi praktik dinasti politik setidaknya dapat dicegah dan dihambat agar tidak merajalela dan merusak tatanan demokrasi. Pencegahan itu bisa dilakukan dengan melakukan pendidikan politik dan membangun budaya rasional kepada masyarakat. “Masyarakat harus paham bahwa politik itu penting, masyarakat terkadang tidak mau aktif untuk memahami konteks politik. Ketika muncul baru melakukan protes. Kita harus hadir dalam konteks ketika mempunyai potensi harus muncul, dorong potensi itu sehingga bisa dilihat dan mampu bersaing jangan hanya memberikan ruang kepada orang yang itu-itu saja. Kemudian membangun budaya rasional dalam memilih. Politik dinasti ataupun dinasti politik sudah berakar, mencabut akar secara langsung tidak mungkin, tetapi mengintervensi ke ruang itu supaya kita bisa ikut andil di sana dan mewarnai sehingga dinasti politik bisa dicegah.
Politik dinasti dan dinasti politik sama-sama memiliki hak,
kedua hak ini tidak memiliki perbedaan yang mencolok, sama-sama melibatkan keluarga, kerabat, ataupun saudara, namun hal yang perlu diperhatikan adalah soal kompetensi bakal calonnya sendiri.
Dua konsep ini memang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Keduanya sama-sama melakukan regenerasi dan reproduksi. Regenerasi itu diperbolehkan, misal kita mempunyai anak yang kelak diarahkan ke kompetensi yang sama. Tetapi, kalau mereproduksi itu ada kesan memaksakan, ketika ada satu keluarga tidak memiliki kompetensi yang sesuai namun dipaksakan menjadi capres/cawapres demi hanya untuk melanggengkan kekuasaan, kesan memaksa ini yang akhirnya membuat publik mengkritisi hal itu.
Akan tetapi, kedua konsep tersebut sah-sah saja. Justru melakukan pelarangan terhadap seseorang untuk mencalonkan yang mempunyai hak untuk dipilih juga melanggar hak politik sehingga bertentangan dengan asas demokrasi.
Selain itu ada juga yang menarik untuk diikuti di tengah ramainya perbincangan mengenai dinasti politik dan politik dinasti, akhir-akhir ini, yaitu muncul istilah baru: politik lampu sein.
Keluarnya Cak Imin dari Koalisi Indonesia Maju dan memutuskan berduet dengan Anies Baswedan diibaratkan seakan-akan Cak Imin berbelok tanpa memberi lampu sein.
“Ya, kalau lampunya mati, mbok ngasih kode tangan. Ini belok enggak ngasih-ngasih sein,” kata Zulkipli Hasan dalam sambutannya di acara Peningkatan Kapasitas Politik Anggota dan Caleg PAN Kalimantan Barat.
Belokan Cak Imin bersama Anies Baswedan tanpa memasang lampu sein ini ternyata mampu mengungguli kecepatannya dari pasangan yang lain dalam hal pasangan yang pertama kali melakukan deklarasi Capres/Cawapres dan mengumumkannya ke publik. Selain itu juga pasangan yang pertama kali saat mendaftarkan Capres/Cawapres ke kantor KPU. Apakah keunggulan ini mampu di pertahankan sampai pelaksanaan Pilpres nanti? Kalau bisa, kemungkinan ini pertanda bahwa pasangan ini adalah yang paling siap untuk berkompetisi dan akan terus melaju memimpin balapan Pilpres ini walau tanpa memasang lampu sein nya.
Sementara di pojok pasangan yang lain kalau kita mengutip cuplikan berita dari media online “detik” tanggal 24 Oktober 2023 diberitakan bahwa , PDI Perjuangan dan relawan Ganjar tak lagi mempedulikan Jokowi. Hubungan mereka saat ini kian renggang karena tindakan Jokowi dan Gibran yang menjurus dukungannya kepada Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Disusul lagi dengan pernyataan politikus PDI Perjuangan Aria Bima , ia mengaku kecewa jika Jokowi dan Gibran mendukung Prabowo Subianto. Sebelumnya dia mengaku tak percaya kalau Jokowi dan Gibran akan memberikan dukungannya kepada Prabowo, karena mereka berdua merupakan kader dari partai PDIP.
Menanggapi hal ini seorang pengamat politik, Rocky gerung mengatakan, manuver yang dilakukan oleh pak Jokowi ini ibarat emak-emak sedang naik motor kemudian memasang lampu seinnya ke kiri tapi ia malah berbelok ke arah kanan, akibatnya pengendara lain yang berada di depan dan di belakangnya menjadi kebingungan akhirnya terjadilah tabrakan kecelakaan lalu lintas.
Pertanyaannya apakah pada pilpres 2024 nanti akan terjadi juga tabrakan kecelakaan lalu lintas antar partai politik?
Kita berharap dan berdoa semoga pemilu th 2024 nanti berjalan dengan lancar dan damai serta tidak ada yang saling tabrakan, antara satu dengan yang lainnya.
Ingat nasehat leluhur kita , kalau kalah jangan terlampau bersedih, dan kalau menang jangan sampai lupa diri.
Apapun yang terjadi kalian para Capres/Cawapres adalah putra- putra terbaik bangsa, yang sudah siap untuk mengabdi kepada Bangsa dan Negara Indonesia.
Salam Pemilu damai
Wartawan Adhyaksa.news
(Tarmzi Yazid)