RUNTUHNYA KESULTANAN MUHAMMAD ALI (BATIN TIKAL) TANPA JEJAK

adhyaksanews.online, Babel

Episode 4

Setelah Pemerintahan Kesultanan Bangka-Belitung dikuasai Belanda, wilayah Bangka mengalami kekacauan dimana-mana akibatnya rakyat mengalami penderitaan oleh penindasaan Kompeni Belanda. Sementara di perairan Kepulauan Bangka dikuasai sekelompok Bajak Laut atau akrab disebut LANON yang kerap mengganggu penduduk kampung pesisir. Bahkan, para penjahat Lanon tersebut tidak segan-segan menculik anak gadis untuk di jadikan gundik pemuas nafsu mereka, sedangkan anak pria dijadikan calon anggota lanon. Tidak heran, penduduk kampung pesisir dihantui rasa takut yang luar biasa. Tidak sampai disitu, para pedagang dari Bangsa Arab dan Tiongkok pun jadi sasaran empuk para lanon, akibatnya para pedagang manca negara tersebut takut berlayar melalui perairan Bangka sehingga Selat Malaka menjadi sepi. Kendati demikian, para pedagang dari arab tidak tinggal diam, dengan segala upaya mereka terus melakukan perdagangan antar negara secara diam-diam. Namun, “pucuk dipulang ulampun tiba” ternyata ada seorang Putra Mahkota Sultan Muhammad Ali yang akrab dinobatkan Krio Panting ini yakni Raden Muhammad Akil yang masih selamat dari peperangan di laut Mentok yang terluka dan bertemu dengan para pedagang Arab. Ia diselamatkan oleh para Pedagang Gujarad itu hingga dibawa ke negeri Arab untuk menetap beberapa tahun. Atas laporan dari pedagang Arab tersebut Muhammad Akil berniat akan menumpas para bajak laut atau Lanon sepulang dari ibadah haji. Atas saran itu Raden Muhamad Akil tidak menunggu lama beliau pulang ke Bangka dan bertempat di Kota Waringin sembari menghidupkan kembali KESULTANAN orang tuanya yang sudah runtuh di Bangka secara diam-diam dari pemerintahan Belanda (1856-1916).

Tidak banyak yang tahu, bahwa Fatih KRIO Panting alias Batin Tikal memiliki Putra Mahkota sebagai penerusnya. Anak Sang Pendekar Babel ini kembali menyusun kekuatan dari para pejuang Bangka yang tersisa dan masih ada hubungan saudara dari Kesultanan ayahnya yakni Sultan Muhammad Ali yang akrab disebut orang Bangka dengan nama BATIN TIKAL.

Strategi perlawanan Muhammad Akil mulai dilakukan, dengan dikumpulkannya para Datuk, mulai Datuk Waringin, Datuk Jakfar Sidiq, Datuk Terang, Datuk Paga, dan Datuk Berembun. mereka inilah yang pernah ikut berjuang dimasa Kesultanan Ayahnya. Tentu mereka adalah pejuang yang sudah berpengalaman dan terlatih di medan pertempuran darat maupun air. Para Datuk inipun adalah pengikut setia Fatih KRIO PANTING sejak perang melawan Belanda saat masa kejayaan Kesultanan Sultan Muhammad Ali (Batin Tikal). Datuk-datuk ini adalah orang-orang pilihan yang memiliki ilmu agama yang tinggi dan sholeh. Didukung ilmu bela diri silat dengan gerakannya seperti bayangan bahkan kemampuan tenaga tubuh mereka seperti baja. Mereka mengadakan perlawanan untuk menumpas para bajak laut yang didukung para pedagang Arab dan China. Datuk Waringin di angkat atau di daulat menjadi Panglima Angin yang di bantu oleh Datuk Alam Harimau Garang Al Minangkabau utusan dari Kesultanan Minangkabau atas permintaan pedagang dari Arab yang tugasnya mengamankan perairan Selat Bangka sampai selat Malaka dan membentuk satu armada perang. Peperangan panglima angin ini masih diapresiasikan dalam bentuk perayaan penduduk Desa Tempilang Kabupaten Bangka Barat dengan nama “Perang ketupat” sampai sekarang. Peperangan armada Panglima Angin sangat dahsyat pertumpahan darah membanjiri perairan laut Bangka sampai selat Malaka sehinga suku melayu darat dan suku melayu laut (Seka’) yang tinggal di Kepulauan yang masih memegang kepercayaan anismisme-dinamisme mengadakan ritual TABER LAUT (mandi laut atau membersihkan laut) atau BUANG JONG (buang sial) sebutan untuk suku seka menurut kepercayaan laut sudah sasa”a (kotor) dengan darah. Hingga setiap tahunnya ritual ini masih di pertahankan sampai sekarang.

Sedangkan Datuk Ja’far Sidiq (Ulama besar Sungaiselan) didaulat menjaga penduduk Sungaiselan, Tanjung-Tedung dan Pulau Nangka yang sering menjadi sasaran para lanon. Datuk Jafar Sidik merupakan Syeh Guru besar yg merupakan ahli agama dan penyebar agama Islam di Bangka Selatan dan Bangka Tengah. Saat itu Ia menyamar menjadi petani di Pulau Nangka untuk mengelabui Belanda agar pejuang sejati ini dapat mengalahkan penjajah kompeni. Hingga sampai akhir hayatnya beliau pun berpesan kepada sanak saudaranya beserta cucunya agar dimakamkan di Pulau Nangka (kubur kramat). Bahkan hingga sekarang makam tersebut sering didatangi pe-ziarah dari entah-berantah.

Sedangkan Datuk Terang didaulat menjaga Kampung Kurau yang sering menjadi sasaran lanon, Ia menyamar menjadi petani dan tukang pandai besi. Datuk Paga didaulat menjaga Kampung Tanjung Labu Pulau Lepar menyamar menjadi nelayan dan petani.

Sultan Muhammad Akil juga mengadakan hubungan dagang kepada pedagang Arab dan Tiongkok secara diam-diam dari pemerintah Belanda, akibatnya Sultan Muhammad Akil menjadi buronan Hindia Belanda. Hingga Kolonial Penjajah ini pun kebingungan mencari putra Batin Tikal tersebut karena kehilangan jejak. Sampai kini pun, belum ada yang tahu dimana keberadaan dan pemakaman Sultan Muhammad Akil, segelintir informasi beliau dibawa oleh pedagang Gujarad ke Negeri Arab. Sedangkan Padepokan dan bekas-bekas tempat belajar agama islam di Kesultanan Bapaknya (Batin Tikal) yang di Bangka Kota (Kute) secara fisik nyaris tidak tersisa dan tanpa jejak dihancurkan Belanda. Apalagi, Kesultanan Muhammad Akil yang baru se-umur jagung yang mulai berdiri pun hilang tak berbekas hingga sekarang.

Sekilas tentang Lanon, adalah sisa-sisa pasukan Hulu Balang Nilam yang telah menjadi penghianat dan bersekutu dengan Belanda melawan pasukan pejuang Bangka yang dipimpin Fatih Krio Panting saat itu. Pada waktu itu Hulu Balang Nilam merekrut pendekar golongan hitam yang didatangkan dari luar Pulau Bangka, Lanon pun propaganda Belanda untuk mengacaukan para pedagang dari Arab dan Tiongkok agar para pedagang takut berdagang melalui perairan Selat Bangka hingga Selat Malaka, Tak ayal Belanda pun bisa memonopoli perdagangan timah dan rempah-rempah dari Sunda Kelapa Pulau Jawa sampai Sumatera dan Bangka-Belitung.

Karena saat itu, jalur perdagangan laut Kepulauan Bangka Belitung dan Selat Malaka merupakan lalu-lintas laut strategis yang ramai di lalui para pedagang dari manca negara. Hingga sekarang pun timah masih menjadi komoditas utama tambang di Pulau Bangka, terhitung aktivitas penggalian tambang timah sejak dilakukan pada abad 17, jaman Belanda. Akibatnya Bangka-Belitung menjadi incaran para pedagang dan pengusaha tambang hingga saat ini, meski bekas-bekas penambangan masih banyak yang belum direklamasi.

TAMAT

Penulis : Hairul Anwar Al-Ja’fary

( Tim Adhyaksanews )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *