adhyaksanews.online, Babel
Dipenghujung zaman, banyak orang yang berkompetisi berebut menjadi pemimpin atau mengejar untuk menjadi pejabat, baik jabatan eksekutif maupun legislatif dan lainnya. Hal ini lantaran proses menjadi pejabat tersebut banyak yang terjadi secara instan dan ada pula melalui proses merangkak dari bawah, mulai kepala daerah tingkat dua (walikota/bupati) lalu loncat mencalonkan diri ke tingkat satu (gubernur) dan tidak puas menjadi Gubernur, mencalonkan lagi hingga sampai menjadi Kepala Negara atau Presiden.
Pada peristiwa ini, Penulis ingin mengupas segelintir kisah tentang Abu Nawas yang terkenal seorang Cerdik-pandai pada saat zaman sahabat. Suatu ketika Abu Nawas menolak ditunjukan oleh Khalifah untuk menjadi seorang Pejabat Pengadilan atau Hakim (jabatan sekarang-red)
Hal itu dikarenakan sebagai pengganti ayahnya yang sedang mengalami sakit yang parah.
Lalu Khalifah-pun khawatir, kalau suatu saat sang ayah Abu Nawas tersebut meninggal dan tidak ada yang bisa menggantikan posisinya sebagai qadhi (pengadil). Akhirnya asumsi Khalifah terbukti dan kekhawatiran-pun terjadi, tak ayal ayah Abu Nawas meninggal dunia.
“Pucuk dicinta ulam pun tiba”, sesuatu yang ditunggu ternyata datang jua,, Namun hal ini tidak berlaku terhadap Abu Nawas.
Kendati demikian, Khalifah pun tidak punya pilihan untuk mencari pengganti posisi ayah Abu Nawas, sehingga ia (Khalifah) tetap bersikeras menetapkan Abu Nawas sebagai calon tunggal untuk menggantikan posisi jabatan yang ditinggalkan ayahnya untuk sebagai Pengadil yang Jujur, Adil, dan Bijaksana.
Setelah itu, diutuslah prajurit untuk segera menjemput Abu Nawas ke istana. Namun ‘apa hendak dikata’, se-sampainya di istana, ternyata Abu Nawas sudah tidak seperti dulu lagi, dan ia sudah menjadi gila.
Dengan situasi dan kondisi saat itu, Sang Khalifahpun langsung membatalkan niatnya untuk menjadikan Abu Nawas sebagai Hakim yang baru.
Timbul-lah sebuah pertanyaan, apakah benar-benar Abu Nawas sudah gila….? Apakah karena ditinggalkan ayahnya, Ia berubah gila? Jawabannya,… Tidak., Abu Nawas ternyata tidak gila, tetapi pura-pura gila.
Karena semasa hidupnya, ayahnya pernah berpesan bahwa janganlah menjadi Pemimpin, karena suatu saat di-alam akherat nanti seorang pemimpin akan di-pertanggungjawabkan semua perlakuannya di hadapan Allah Subhanawatallah. Hal itulah yang menjadi Abu Nawas menolak mengambil jabatan hakim itu dan pura-pura menjadi tidak waras.
Merunut cerita ini ada suatu hadist, yang artinya: “Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang meminta untuk diangkat dan tidak pula kepada orang yang berharap-harap untuk diangkat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketika jaman sahabat, justru mereka saling bertolak menjadi pemimpin. Bahkan, dalam sebuah riwayat ketika Abu Bakar diminta menggantikan Rasulullah menjadi khalifah, ia malah mengusulkan Umar dan begitu pun Umar bin khotob menolaknya, dan mengusulkan sebaliknya. Karena, para sahabat menganggap sebuah jabatan adalah beban yang sangat berat dan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Sehingga mereka berusaha menghindarinya, meskipun masih dalam ranah tugas dan kewajibannya.
Rosulullah SAW, pernah bersabda, yang artnya :
“Apabila suatu pekerjaan diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggu kehancuran”. (HR.Bukhori).
Makna dari hadis ini jelas, apabila seseorang bukan bidangnya dalam jabatannya bertugas mengurus negara dan rakyatnya namun tetap dipaksakan, tentu tidak baik hasilnya. Karena banyak zaman milenial ini orang berlomba-lomba mengejar jabatan, baik itu eksekutif (Kepala Daerah/negara) maupun legislatif (DPRD/DPR). Alasannya apa,,,? katanya panggilan rakyatlah yang ‘mendukung’, Rakyat yang mana,,,,?. mungkin segelintir masyarakat yang terkontaminasi dari sang calon bukan rakyat mayoritas.
Ironisnya, peristiwa semacam ini terbukti dan menjadi pemimpin saat ini justru seperti yang tertulis dalam hadist tersebut yakni orang yang bukan ahlinya. Akibatnya, negeri corat-marut dan regulasi-pun (peraturan) menjadi tumpang-tindih, tidak heran bila kehidupan rakyat dalam bernegara pada sektor ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kesehatan dan sebagainya mengalami penurunan (degredasi). Alangkah baiknya, sebuah jabatan diserahkan kepada ahlinya dan bidang yang dikuasainya, sehingga Ia bisa melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai yang diamanahkan Rosulullah Sallallahu Alaihi Wassalam. Karena perkara jabatan tidak hanya sampai disini, namun hingga sampai mati. Artinya, setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya.
Oleh : Hairul Anwar Al-Ja’fary
( Tim Adhyaksanews )